Seringkali kita mungkin mendengar kutbah maupun ceramah menyatakan bahwa Istri dan Anak-anak adalah “cobaan” untuk kita.
Namun pengartian “cobaan” ini seringkali ditelan mentah-mentah, sebagai sesuatu yang sama dengan beban, sesuatu yang hanya menjadi masalah dan menyusahkan.
Hal ini bisa terjadi karena penyampaian yang kurang jelas, maupun yang menyampaikan pernyataan ini juga menyampaikan dari orang-orang sebelumnya tanpa menanyakan makna yang sebenarnya.
Marilah kita mempelajari makna kata “cobaan”.
Tidaklah Allah menciptakan mahkluknya hanya menjadi penyebab masalah, dan hanya menjadi beban untuk makhluk yang lain. Bagaimana jika dibalik, “Suami, dan orang tua adalah cobaan”.
Apa yang Anda rasakan, jika hal itu yang dijadikan pernyataan untuk para laki-laki?
Apa yang Anda rasakan, jika hal itu dinyatakan oleh anak-anak Anda?
Tidakkah Anda akan menganggap itu adalah sesuatu yang kurang ajar?
Kata “cobaan”, memiliki banyak makna, tergantung dilihat dari sudut mana.
Jika hanya dilihat dari sudut pandang sempit, hanya mencari sesuatu yang bisa disalahkan, dan menganggap diri sendiri yang paling benar, maka kata “cobaan” akan menjadi musibah, dan petaka. Yang hanya membawa arti kesusahan.
Namun,jika dilihat dari sudut pandang luas, dan selalu berpikir pada kebaikan, maka kata “cobaan” bisa menjadi sebuah amanat, atau ujian kepercayaan, dari yang berkedudukan lebih tinggi kepada yang berkedudukan lebih rendah. Dalam hal ini, Allah memberi amanat atau ujian kepada manusia.
Pasti Anda pernah berpikir, atau minimal pernah mendengar bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah titipan, dan akan dimintai pertanggung jawaban.
Nah, jika semua yang ada di dunia ini adalah ciptaan dan titipan Allah, Tuhan yang Maha Agung. Maka kita harus menjaga, dan menghormati kepada penciptanya bukan?
Hal yang sama, berlaku pada pernyataan “Istri dan Anak-anak adalah cobaan”.
Marilah mulai merubah pemikiran yang hanya mencari sesuatu untuk disalahkan, menjadi sebuah pemikiran yang membawa kebaikan.
Istri dan Anak-anak, adalah sama dengan kita. Mereka manusia, kita juga manusia.
Jika tidak ada wanita, tidak mungkin akan ada anak.
Jika tidak ada anak-anak, tidak mungkin akan ada manusia dewasa, yang kemudian menikah, suami dan istri, yang kemudian melahirkan anak-anak. Dan berlanjut pada proses yang sama seterusnya.
Istri, sebagai pasangan hidup, belahan jiwa kita, adalah anugerah terindah yang diberikan oleh Allah untuk kita.
Bersama Istri, kita menjalani kehidupan ini.
Bersama Istri, kita membuat anak.
Dan oleh sang Istri, ia melahirkan anak untuk kita. ( Bukan anak untuk “Anda”, tapi anak untuk “kita”)
Oleh karena itu, kita wajib menjaganya, membahagiakannya, memanjakannya.
Kita wajib membuat para Istri kita senang, tentunya dengan jalan dan cara yang diridhloi oleh Allah.
Karena Istri adalah ciptaan Allah, dan berarti titipan Allah, maka membahagiakannya berarti kita menghormati pada penciptanya, yaitu Allah. Yang juga pencipta kita.
Anak, adalah buah dari hubungan antara Suami dan Istri.
Anak adalah tempat Suami dan istri mencurahkan kasih sayang.
Kata Suami dan Istri, bergeser menjadi Orang Tua, Ayah dan Ibu.
Tugas Ayah dan Ibu adalah mendidik Anak, membahagiakan mereka, dan mengajarkan Anak untuk mengenal Tuhan, mengenal Allah, pencipta Suami dan Istri, pencipta Ayah dan Ibu, pencipta orang-orang sebelum sang Anak dilahirkan di dunia ini.
Karena Anak adalah ciptaan Allah, dan berarti titipan Allah, maka membahagiakannya berarti kita menghormati pada penciptanya, yaitu Allah. Yang juga pencipta kita.
Sebuah contoh sederhana, jika sampai baris ini Anda masih belum bisa menerima maupun memahami.
Jika, Anda bekerja di sebuah perusahaan. Dan Anda mempunyai seorang atasan, misalnya Manager / Direktur. Dan beliau memiliki seorang anggota keluarga , bisa jadi seorang anak, maupun keponakan. Dan beliau menitipkannya kepada Anda sebagai seorang karyawan yang bekerja di tempat Anda. Sudah tentu Anda akan bersikap baik dan menjaganya sebagai amanah dari atasan Anda bukan?
Namun perlu diingat, hal itu sebagai sebuah amanah, bukan karena Anda takut kepada Atasan Anda ( Manager / Direktur, ini karena mereka juga manusia, memiliki level yang sama di dunia).
Tapi untuk Istri dan Anak, mereka adalah amanah dan titipan dari Tuhan, dari Allah, yang menciptakan Anda, dan orang-orang sebelum Anda, dan makhluk-makhluk yang ada di dunia ini.
Jagalah amanah dan titipan yang diberikan oleh Tuhan, yang diberikan oleh Allah, yang posisinya berada di atas apapun yang ada di dunia ini.
Janganlah Anda menganggap mereka sebagai sebuah beban.
Janganlah Anda menganggap mereka sebagai sebuah masalah.
Tapi anggaplah dan terimalah mereka sebagai sebuah hal istimewa yang dipercayakan oleh Allah, untuk kita jaga, untuk kita bahagiakan, sampai akhirnya semua akan kembali lagi pada Allah untuk dipertanggungjawabkan.
🙂
Wasallam.
wah terima kasih mas atas tulisannay, sangat inspiratif
mas, kalo dalam perkawinan ada perceraian, apakah itu berarti sang suami tidak bisa menjaga amanat dr Allah SWt?
Dalam pernikahan, kedua insan yang sebelumnya telah berikrar janji, dan diresmikan menjadi sepasang suami istri, dan dihalalkan hubungan mereka oleh Allah ( yang dalam hal ini, sudah tentu Allah juga menjadi saksi pernikahan ), kedua pihak entah itu suami ataupun istri, semuanya diberi amanat.
Kita kembali kepada salah satu tujuan pernikahan. Pernikahan dilaksanakan dengan tujuan untuk menyempurnakan iman, beribadah, dan meneruskan keturunan untuk senantiasa beribadah menyembah Allah.
Nah, iblis dan syaitan sangat membenci hal ini. Oleh karena itu mereka senantiasa berbisik kepada hati, pikiran logis, nafsu, agar manusia selalu membantah perintah Allah, bahkan melakukan perbuatan yang dibenci Allah.
Sebelum terjadi perceraian, hendaknya kedua belah pihak saling mengkoreksi diri masing-masing dimana letak awal mula permasalahan. Saling menahan hawa nafsu untuk saling menyalahkan, bahkan sampai terucap talak.
Seringkali permasalahan duniawi adalah penyebab terjadi perceraian. Dan itu semua mungkin karena pernikahan terjadi disebabkan oleh faktor duniawi, misalnya kecantikan, kepintaran, ketampanan, kekayaan, dan lain sebagainya.
Jadi, segala sesuatu itu dimulai dari yang kecil dan sederhana.
Apakah niat yang ada di dalam hati ketika akan melakukan sesuatu perbuatan itu dasarnya baik ataukah buruk?
Apakah niat yang ada di dalam hati ketika akan melakukan perbuatan itu dasarnya karena ada ilmu yang bertujuan mendekatkan diri kepada sang Pencipta atau Allah ataukah hanya karena reaksi spontan?
Dan bukankah, salah satu do’a kita untuk pasangan kita, adalah agar mereka juga menjadi pendamping kita nanti di akhirat?
Kebaikan dan kebenaran, semuanya berasal dari Allah. Dan hanya Allah yang Maha Mengetahui
Sangat bagus mas…………sangat membangun motifasi saya…terima kasih n semoga tetap berkarya n selalu mengikuti…..salam kenal.