Banyak hal dalam Islam, yang jika hanya diterima secara biasa, akan memiliki arti yang biasa, namun jika kita pelajari lebih lanjut, maka akan menjadi luar biasa. Namun, ada hal yang disampaikan, berdasar dengan tingkat keimanan seseorang, dan bahkan disesuaikan dengan tingkat kemampuan penerimaan ilmu di suatu tempat.
Terkadang, ada salah penyampaian sehingga menjadi salah pengajaran, yang hasilnya adalah sebuah kesalahan secara bertingkat, dari guru, turun temurun terhadap murid, kemudian kepada semua orang yang menerima.
Namun, terkadang, jika dipelajari lebih dalam, bisa jadi hal itu adalah karena tingkat ilmu sang guru dan murid yang memang segitu, dan jalannya memang seperti itu. Ada hal yang seharusnya disampaikan, namun tidak disampaikan, sehingga hasilnya malah membuat salah pemahaman/pengertian pada masyarakat.
Ada baiknya, sebelum lanjut membaca posting ini, dalam kondisi hati bersih, dan pikiran bersih. Karena akan ada hal-hal yang mungkin “agak” diluar batas pengetahuan normal, yang mungkin oleh orang awam akan dianggap nyeleneh.
Jika hati dan pikiran anda belum bersih, maka silakan membaca posting ini di lain waktu.
Untuk membuka sedikit dari hati, pasti Anda pernah membaca atau mengetahui istilah, “Allah itu lebih dekat dari urat leher”.
Istilah ini, kebanyakan hanya diterima begitu saja, dan kadang memang akan seperti itu, dan itu karena tingkatan ilmu dari manusia. Misalnya oleh orang syariat, yang menjalankan Islam sesuai dengan semua peraturan yang ada di Al-Qur’an, maka mereka hanya tau peraturan, menjalankan, tapi belum bisa mengerti/memahami maksud peraturan yang dilakukan.
Arti dari Allah itu lebih dekat dari urat leher, juga akan susah dipahami oleh orang syariat. Namun oleh orang hakikat, akan bisa dijabarkan, diurai, sehingga akan menambah keimanan kepada Allah.
Jika, Allah itu lebih dekat dari urat leher, maka apa yang pertama kali muncul di pikiran Anda?
Urat leher itu kan menyatu dengan daging dan kulit, ada di dalam tubuh, lalu jika Allah lebih dekat dari urat leher, maka Allah ada dimana?
Sebagai contoh lain untuk membuka hati, kita ibaratkan ada sebuah senter atau lampu yang menyala terang, lalu kita letakkan sebuah kertas dengan banyak lubang di depan senter atau lampu tadi. Apa yang Anda lihat?
Akan terlihat banyak cahaya yang keluar dari kertas.
Manusia, adalah cahaya yang keluar dari kertas tadi, bagaimana bentuknya, bagaimana kelakuan atau sifat, semuanya tergantung dari lubang tadi.
Manusia, diciptakan oleh Allah, memiliki sifat Allah, dan setelah mati, akan kembali kepada Allah. Itulah salah satu penjelasan sederhana mengenai “segala sesuatu akan kembali kepada Allah”.
Semua manusia adalah berasal dari satu sumber, dan semua berjalan atas kehendakNya. Semua manusia, bukan hanya orang Islam.
Oleh karena itu, jika Anda melihat manusia, maka hendaklah melihat yang ada di belakang manusia, ada sang Pencipta Manusia. Semoga pengenalan diri dan Tuhan yang secara sederhana ini membuka hati anda, dan merubah perlakuan Anda terhadap manusia lain.
Selanjutnya, dalam banyak pengajian atau dakwah, kita sering mendengar adanya pahala sebagai balasan jika kita melakukan kebaikan. Pahala, adalah sebuah kata-kata yang disampaikan kepada orang umum, agar manusia termotivasi. Karena manusia lebih cenderung meminta, menerima, menginginkan diberi sesuatu, sebelum melakukan sesuatu. Jika pahala dihilangkan, masihkan Anda akan berbuat baik? Jika Anda tidak menerima apapun sebagai balasan kebaikan yang Anda lakukan, masihkah Anda berbuat baik?
Lakukanlah kebaikan, tanpa mengharapkan imbalan. Lakukanlah kebaikan, karena mengharap ridho Allah.
Jika Anda memiliki seorang kekasih, apakah Anda akan baik kepada kekasih hanya karena ingin diberi sesuatu / dipuji ataukah karena melakukannya karena Anda mencintai kekasih Anda dan mengharapkan ridhonya?
Masih banyak hal yang ingin saya sampaikan, namun tidak akan cukup dalam satu posting, jadi akan saya sampaikan secara bertahap di lain waktu.
Intinya, saat mati yang pertama ditanyakan “Siapakah Tuhanmu?” kemudian “Siapa Nabimu?” kemudian “Apa agamamu?”, “Siapa imammu?”, “Di mana kiblatmu?”, “Siapa saudaramu?” sesimpel itu aja kok kang, tapi belom tentu kita bisa menjawabnya. Ini dari hadits sahih yang biasa dijelaskan para ulama
Terus terang bukan masalah nyeleneh atau ndaknya tapi sepengetahuan saya Rasulullah SAW gak pernah mengajarkan atau menjelaskan tentang Makrifat, Hakikat. Terus kok kesannya lantas menganggap remeh orang yang menjalan syariat padahal inti dari segalanya dengan adanya syariat kita menjalankan perintah Allah SWT sesuai dengan panduanNya yang diwahyukan kepada Rasulnya. Lantas makrifat, hakikat panduan siapa?
hehehe, saya termasuk yang anti sama aliran makrifat, hakikat yang akhirnya malah banyak nyeleneh…
Hehe.. Nah itulah mas, jalannya berbeda-beda.
Dengan adanya landasan syariat, maka akan menjalankan segala sesuatunya sesuai hukum yang berlaku. Namun, pada beberapa hal, ada hal yang tidak mampu dijelaskan, dan terkadang akan mentok, seperti buntu. Nah inilah yang perlu diuraikan, supaya melakukan sesuatu, bukan hanya sekedar melakukan, tapi juga mengetahui alasan dan maknanya.
Bukan bermaksud meremehkan tapi ya, tapi itu sekedar gambaran, kalau nanti semuanya dikumpulkan, semua macam orang, lalu dilakukan diskusi, yang tentunya semuanya adalah teman dekat, sehingga walaupun terjadi tukar pendapat, tidak terjadi pertengkaran, dapat mencegah saling mempertahankan pendapat, namun dilakukan dengan hati dan pikiran bersih, akan menambah pengetahuan dan keimanan 🙂